Powered By Blogger

Selasa, 30 Maret 2010

BAHASA DAN DINAMIKA MASYARAKAT

A. Pendahuluan
Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki
persamaan identitas. Wujud identitas itu misalnya bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi,
arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka makalah ini berusaha mengkaji fungsi
bahasa baik secara konseptual maupun secara praksis. Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa
menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang
menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun
dalam perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam peristiwa Sumpah
Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki
akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu.

Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa
Inggris (Amerika), atau India yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa
nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek
moyangnya yaitu bahasa Melayu. Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian yang
menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas negara penjajahnya untuk dijadikan
bahasa persatuan sebagai perekat etnik.

Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian
dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa
Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek
Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal ini adalah
aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan / EYD) dalam konteks Saussurian disebut
sebagai aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue merupakan fakta sosial yang
artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa
Indonesia baku secara massal dan berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TV swasta yang
menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka makalah ini akan mencoba mengkaji kasus pemanfaatan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.

B. Fungsi Bahasa
Lebih dahulu marilah kita berdiskusi tentang fungsi atau peranan. Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji
fenomena sosial dengan perspektif fungsi maka mau tidak mau akan menyandarkan pijakan paradigma pada pendekatan
fungsionalisme. "Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan
organisme/makhluk hidup. Artinya, sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-bagiannya
atau unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas,
integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki syarat-
syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat
bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan
mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).

Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe
Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem
sosial-budaya sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari sistem. Kalau suatu sistem
organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial-
budaya yang bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, birokrasi, aparat keamanan,
wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk. Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga
saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap terjaga. Apabila salah satu unsur
mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan
oleh unsur-unsur yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang.

Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini adalah pada asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya
itu selalu dalam keadaan stabil dan terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya
perubahan sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua pendekatan teoritik selalu memiliki
kelebihan dan kekuarangan. Kita kembali pada sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu negara Indonesia, yang
unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau penduduk. Dalam hal ini kita ambil salah satu
unsur negara yaitu bahasa.

Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa
Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan
fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya
kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa
kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing
berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang
memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas
kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut
sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara.

Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan
bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang
kadang-kadang diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain. Identitas ini tidak stabil
atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis,
berubah, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa Bahasa
Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama
warga Indonesia yang menjadi kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau
bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.

C. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional
Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai salah satu identitas kebersamaan bagi warga negara
Indonesia maupun bahasa persatuan yang bisa menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja harus ada
sosialisasi dan pewarisan (transmission). Beberapa cara bisa dilakukan untuk hal itu, dan salah satu cara yang
diungkapkan di sini adalah peranan stasiun televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta
(RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa Indonesia baku,
yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut sebagai aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran
televisi ini menarik untuk dikaji karena dia menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.

Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun
1960-an. Fenomena sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu luas kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di
dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard
ware-nya yang bisa menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa hadir di tengah-tengah
ruang keluarga. "Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk televisi, surat kabar, majalah,
internet, dan radio sehingga bisa hadir di tengah-tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir
Piliang, 1999).

TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau
berbagai pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai muncul stasiun televisi swasta di Jakarta
dengan siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar dan lain-lain yang jangkauan
siarannya berskala nasional seperti halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih terlihat sebagai
stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang kemudian
disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari
televisi-televisi swasta. Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yang tanpa arti. Di balik
slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap
dalam kondisi terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di udara tetap di
udara" milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus mengudara melakukan siaran walau
segenting apa pun keadaan negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu terpisahkan oleh ruang dan waktu
dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita televisi berusaha menjadi media
pemersatu ke dalam "waktu yang sama", dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang yang sama".

Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio. Siaran radio hanya menyuguhkan aspek audio
sehingga masyarakat hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi selain
bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi
sang penyiar televisi. Dari hal ini muncul kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat pemirsa berada di
dalam suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa dianggap sebagai sebagai salah satu simbol
pemersatu bagi masyarakat Indonesia melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia,
atau masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.

Mengenai apa itu simbol maka bisa kita rujuk pendapat dari William A. Folley (1997: 26); "A simbol is a sign in which the
relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual
constraints". Jadi sebuah simbol adalah sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal
yang lain. Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial-budaya masyarakat si pemilik simbol.
Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai simbol yang penuh makna, akan tetapi bisa
saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki makna apa-apa atau hampa makna.

TVRI bisa jadi dianggap sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia karena dia mampu
menyebarkan informasi dengan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok negara. Sedangkan bahasa Indonesia adalah
bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang berbeda etnis maupun bahasa ibu, sebagai bahasa resmi
kenegaraan termasuk bahasa dokumen atau arsip maupun buku-buku pelajaran di sekolah, dan bahasa resmi bagi
penyebaran informasi di media massa. TVRI memiliki makna mendalam karena dia dihubungkan dengan keberadaan
bahasa Indonesia maupun keberadaan bangsa Indonesia. TVRI menjadi simbol jembatan bagi masyarakat Indonesia
yang secara geografis maupun kultural adalah masyarakat majemuk.

Media televisi, terutama dalam siaran berita misalnya TVRI (siaran Dunia dalam Berita, Berita Malam), RCTI (siaran
Nuansa Pagi, Buletin Siang), Indosiar (siaran Fokus), SCTV (siaran Liputan 6 pagi, Liputan 6 Siang) dan lain-lain, kalau
diamati maka pasti para penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia baku. Akan tetapi dalam berbagai siaran yang lain
misalnya berbagai siaran iklan, pertunjukan musik, siaran kuis, atau siaran kesenian maka akan terlihat bahasa pop atau
"bahasa gaul" dengan berbagai varian menjadi bahasa pengantar. Di sini bisa dilihat adanya aspek langue (pada bahasa
berita) sekaligus adanya aspek parole (pada berbagai siaran yang lain) dalam siaran televisi di Indonesia. Yang kemudian
menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam siaran berita menggunakan bahasa Indonesia baku, sedangkan dalam
siaran yang lain menggunakan bahasa pop ? Tentu tidak akan mudah untuk menjawabnya secara rasional, sistematis,
dan jernih.

Fenomena bahasa berita di media televisi ini menarik untuk dikaji karena pada tingkatan tertentu bahasa berita bisa meng-
hegemoni sebagian masyarakat pemirsa televisi sehingga mereka harus mengikutinya (melihat, mendengar,
membenarkan dan memperbincangkan). Hegemoni sendiri sering diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui
kesepakatan dan bukan paksaan. Daya jangkau hegemoni sangat dalam, mencakup pikiran dan perasaan masyarakat,
beroperasi di wilayah publik serta wilayah domestik.

Hegemoni sering dibedakan dengan dominasi, di mana dominasi diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui
paksaan dan kekerasan, daya jangkau kekuasaan dominasi hanya sampai permukaan. Hegemoni secara halus
menuntun orang untuk bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan hegemoni bahkan kadang-
kadang orang tidak merasa terpaksa atau melakukan sesuatu dengan suka rela. Sedangkan kekuasaan dominasi itu
dilakukan secara paksaan, orang sanggup bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan dominasi
karena daya resistensi orang tersebut kalah kuat dari daya paksa pemegang dominasi.

Bahasa siaran berita televisi beroperasi pada wilayah hegemoni, akan tetapi pada saat tertentu juga beroperasi pada
wilayah dominasi. Contoh dari dominasi ini adalah saat sang pembaca berita memerintahkan kepada pemirsa, "Jangan
kemana-mana dulu karena kami akan hadir lagi setelah jeda iklan berikut ini" atau "Tetaplah bersama saluran kami".
Kalimat-kalimat imperatif dan "tembak langsung" ini sering kita jumpai pada siaran berita di televisi. Di dalam
membacakan berita maupun format penghadiran berita maka juga bisa dilihat adanya aspek seni. Sentuhan seni ini juga
menjadi daya tarik khalayak untuk menyaksikan siaran berita televisi.

Dari sini terlihat, seni telah dimanfaatkan oleh para pembaca berita pada siaran televisi untuk mengkomunikasikan
berbagai hal yang berhubungan dengan informasi kepada khalayak pemirsa televisi. Mengenai makna seni, maka dapat
diperhatikan pendapat dari Taufik Abdullah, "…pada tahap awal seni adalah suatu pilihan dari berbagai cara untuk
melukiskan dan mengkomunikasikan sesuatu. Tentu saja setiap bentuk seni sesungguhnya adalah perkembangan dari
cara-cara yang biasa dilakukan dalam hidup manusia--sajak tentu berawal dari ucapan, dan tarian tentu berawal dari
gerakan" (Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2 1980/1981: 11). Keinginan para pembaca berita di televisi untuk mendapat
perhatian dan tawaran ketertarikan menyaksikan berita, dikomunikasikan kepada masyarakat pemirsa melalui seni
membaca berita. Seni menjadi media yang dimanfaatkan untuk menghadirkan pesona siaran berita.

D. Integrasi Sosial
Dengan mengutip pandangan dari de Saussure, Ernst Cassirer (1987: 186) mengatakan bahwa, "de Saussure menarik
garis tajam antara la langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan proses tuturan (la parole)
sebagai proses temporal dan bersifat individual. Setiap individu memiliki gaya bahasa sendiri. Akan tetapi dalam analisis
ilmiah tentang bahasa, kita mengabaikan perbedaan-perbedaan individual itu, kita menelaah fakta sosial yang mengikuti
kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung kepada si penutur individual. Tanpa kaidah-kaidah umum
seperti itu maka bahasa tidak akan dapat menunaikan tugas utamanya; bahasa tidak dapat dipakai sebagai media
komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya". Dari kutipan ini terlihat bahwa langue yang memiliki kaidah-kaidah
umum adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu.

Fakta sosial ini beroperasinya adalah lintas individu dan bersandar pada kaidah-kaidah umum bahasa, agar bahasa bisa
menjadi media komunikasi sosial. Langue yang memiliki sifat sebagai media komunikasi sosial bahkan pada tataran
tertentu mampu menjadi media integrasi sosial lewat siaran berita televisi. Bahkan pada fenomena kehidupan bernegara
langue juga bisa bersifat politis. Seperti yang ditulis oleh Eriyanto, "Pada tahun 1974 pemerintah melalui Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA II) juga mencakup sasaran khusus untuk pengembangan bahasa, sastra, dan
kebudayaan. Pada tahun 1974 dibentuk proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pada tahun
1984 proyek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Proyek
Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah. Salah satu perhatian utama dari kebijakan bahasa oleh pemerintah adalah
mengadakan pembakuan bahasa Indonesia dan menerapkan serta menghimbau 'pemakaian bahasa yang baik dan
benar'. Perundangan kebijakan ini dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakan bahwa bahasa
harus dibina dan dikembangkan serta digunakan secara baik dan benar" (Eriyanto, 2000; 74-75).

Langkah pemerintah itu bisa jadi adalah usaha untuk menjaga integrasi bangsa Indonesia lewat kebijakan bahasa
Indonesia. Kebijakan ini tentu berdampak terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat karena bahasa Indonesia yang
dibakukan kemudian menjadi referensi tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulisan dalam
berbagai surat keputusan, surat- menyurat resmi, arsip-arsip birokrasi, acara protokoler, bahasa pengantar di lembaga-
lembaga pendidikan, siaran-siaran resmi di televisi atau di radio adalah realitas sosial yang secara langsung akan
mengikuti kebijakan bahasa oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ini bukannya berjalan mulus tanpa hambatan.

Sebagian kaum akademisi secara kritis dan tajam mengoreksi kebijakan bahasa dari pemerintah ini. Contoh dari mereka
ini adalah Virginia Matheson Hooker dan Ariel Heryanto, yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa yang baik dan
benar adalah salah satu bentuk manipulasi pemerintah untuk mengukuhkan kekuasaan terhadap rakyat. Bahasa yang
baik dan benar bisa dianggap sebagai simbol adanya pusat kebenaran yang harus memiliki kewibawaan, di mana semua
kebijakannya harus ditaati oleh masyarakat. Bahasa yang baik dan benar adalah yang digunakan oleh pemerintah,
sedangkan yang digunakan oleh masyarakat adalah sebaliknya, sehingga masyarakat harus mengikuti pusat kebenaran
yaitu pemerintah.

Pembakuan bahasa, oleh kalangan pengritik juga dianggap sebagai pengingkaran terhadap dinamika sosial-masyarakat
sebab bahasa adalah bagian dari sebuah dinamika sosial-masyarakat yang sifatnya natural (alamiah). Dari hal ini kita
bisa melihat bahwa fenomena bahasa Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari nuansa politik dalam kehidupan
bernegara. Bahasa Indonesia yang diposisikan sebagai bahasa persatuan bagi masyarakat Indonesia secara otomatis
telah menciptakan fenomena bahasa berdampingan dengan fenomena politik, dalam hal ini adalah politik kebahasaan.
Mengenai bahasa yang identik dengan dinamika sosial-masyarakat ini juga bisa kita telah dari pandangannya de
Saussure (1996; 361) bahwa "Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cenderung
menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada langue yang dipakai.
Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya
satuan etnis cukup menjelaskan tentang masyarakat bahasa". Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa adalah ciri
yang menonjol dan mudah diamati dari suatu masyarakat.

Bahasa tertentu identik dengan masyarakat tertentu, misalnya bahasa Bali identik dengan etnis Bali atau bahasa Bugis
akan identik dengan etnis Bugis. Jadi bahasa mampu menciptakan etnis. Begitu juga sebaliknya ternyata bahasa itu
menjadi ada karena diciptakan oleh suatu etnis. Misalnya bahasa Indonesia itu menjadi ada karena diciptakan oleh
masyarakat Indonesia, walau fondasinya adalah bahasa Melayu akan tetapi dua bahasa itu kemudian memiliki perbedaan-
perbedaan. Fenomena inilah yang biasa disebut sebagai bahasa dan dinamika masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa
bahasa sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri. Karena adanya suatu dinamika masyarakat di Indonesia,
maka bahasa Indonesia yang digunakan pada masa perjuangan tahun 1945-1949 memiliki karakter heroik, sedangkan
pada masa pemerintahan Orde Baru bahasa Indonesia karakternya sarat dengan eufemisme atau penghalusan kata
untuk menyembunyikan makna yang sesungguhnya.

Lain lagi karakter bahasa Indonesia pada masa puncak reformasi tahun 1998 hingga 1999 yang syarat dengan hujatan,
caci-maki, dan pembongkaran aib mantan penguasa. Fenomena kebahasaan pada tahun 1998-1999 itu bisa disaksikan
pada berbagai liputan berita (bukan pembacaan siaran berita--pen) stasiun-stasiun televisi tentang peristiwa yang terjadi
di lapangan. Begitu cepatnya berita-berita tentang kerusuhan sebagai ekses proses peralihan kekuasaan di Jakarta dan
beberapa kota di Jawa kemudian menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.

Pada sisi kecepatan penyampaian berita sehingga menyebar kepada masyarakat Indonesia, juga bisa dilihat bahwa
siaran berita televisi bisa menjadi media pembangun integrasi sosial karena masyarakat luas tidak tersekat atau
terpisahkan oleh ruang dan waktu. E. Kesimpulan Pada bagian ini dengan memperhatikan uraian di muka dapatlah ditarik
sebuah benang merah yang berupa kesimpulan. Dengan mengambil kasus siaran berita yang menggunakan bahasa
Indonesia baku pada stasiun televisi milik pemerintah yaitu TVRI maupun stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV,
Indonesiar, TPI, ANTV, Metro TV dan lain-lain maka tulisan ini telah berusaha mengkaji fenomena bahasa dan dinamika
masyarakat di Indonesia.

Bahasa Indonesia baku yang digunakan dalam siaran berita berbagai stasiun televisi tersebut telah menjadi salah satu
media integrasi sosial bangsa Indonesia. Siaran berita dengan bahasa Indonesia baku ini merupakan aspek langue dari
kajian tentang siaran televisi. Langue beroperasi pada wilayah sosial dan bukannya pada wilayah individual, sehingga
langue bisa disebut sebagai fakta sosial. Bahasa dan dinamika masyarakat adalah fenomena yang bersifat natural, akan
tetapi bisa juga berubah menjadi fenomena politis karena adanya campur tangan dari penguasa. Bahasa kemudian
dijadikan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat dan lebih jauh lagi adalah untuk mengokohkan kekuasaan atau
malah untuk mewujudkan integrasi sosial. Integrasi sosial bisa juga terjadi karena adanya identitas kebersamaan yang
bisa menjadi pembeda dengan entitas sosial yang lain, yang kadang-kadang diikuti oleh kebanggaan terhadap entitas
sendiri dan tidak jarang mengganggap remeh entitas sosial yang lain. Bahasa adalah salah satu simbol identitas
kebersamaan yang bisa berfungsi untuk mewujudkan integrasi sosial.

Daftar Pustaka:
Abdullah, Taufik. "Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2 1980/1981: 11".
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (1997). "Claude Levi-Strauss: Butir-Butir Pemikiran Antropologi" dalam Levi-Strauss Empu Antropologi Struktural.
Yogyakarta: LKiS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar